Tuesday, February 12, 2013

Berhaji dan berumrah berulang kali pengabdi setan


Berhaji dan berumrah berulang kali pengabdi setan

 copas ..

Tidak hanya pindah ke pusat-pusat belanja, kalangan atas gandrung berumrah saat Ramadan hingga tembus Lebaran, meski ibadah itu sudah berkali-kali dilakoni. Menurut Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta, Ali Mustafa Yaqub, Nabi Muhammad tidak pernah mencontohkan hal itu. Dia menegaskan bolak balik berhaji dan berumrah adalah salah satu produk konsumerisme berbungkus ibadah. 

Berikut penuturan Ali Mustafa Yaqub saat ditemui Islahuddin dari merdeka.com di rumahnya, belakang Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Kamis (16/8) siang.

Apa masjid kalah bersaing dengan mal di Jakarta?

Saya tidak mengenal kata bersaing. Yang jelas, mal berhasil menyedot jamaah banyak ke masjid menjadi banyak ke mal. Apalagi mal ada di depan masjid, sekalian. Ini bukan karena malnya. Ini karena faktor konsumtif. Perilaku itu membuat orang lebih banyak ke mal ketimbang ke masjid.

Bagi sosiolog, perubahan perilaku ini sangat menarik untuk diteliti. Lebih parah lagi, konsumerisme itu ada yang dibungkus dalam bentuk ibadah. Misal bentuknya umrah saat Ramadan. Pada 2009, ada 3,6 juta orang umrah ke Makkah. Sekarang mungkin sekitar empat juta orang. Dari jumlah itu, kalau per orang dikenai biaya dua ribu dolar, jumlah uangnya ada delapan miliar. 

Jumlah itu terbuang hanya untuk hal-hal tidak wajib dan itu tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Kalau itu itu wajib mungkin wajar, demikian juga kalau pernah dicontohkan oleh Rasullah, itu tidak masalah. Rasulullah saja tidak pernah mencontohkan pergi umrah saat Ramadan. Saya juga tidak tahu bagaimana pergeseran yang mulanya infak itu hingga menjadi umrah saat Ramadan. 

Sekarang banyak masjid membuat brosur Ramadan memasukkan umrah itu sebagai amal ibadah Ramadan. Padahal umrah itu tidak ada kaitannya dengan Ramadan. Di luar Ramadan boleh seperti itu. Tapi memasukkan umrah sebagai amaliyah Ramadan itu sudah punya tujuan lain. Mungkin saja pengurus masjid ingin menjaring jamaah agar dia bisa gratis ke sana. Ini bergesernya pelan-pelan, tidak terasa. 

Seperti apa peran ulama dalam hal ini?

Ulama saja jadi korban konsumerisme karena ulamanya tidak mau mempelajari hadis, bagaimana perilaku Rasulullah pada Ramadan. Maka yang penting senang pergi ke Makkah. Bagaimana tidak senang, dia dan istrinya bisa gratis kalau dapat jamaah banyak. Bagaimana tidak senang seperti itu. Maka jamaahnya dirayu untuk pergi umrah saat Ramadan. 

Bagaimana dengan teladan dari ulama?

Siapa diteladani kalau dia tidak pernah membaca hadis perilaku nabi. Tidak pernah baca hadis dan syirah. Itulah kendalanya dan akhirnya dia menjadi korban konsumerisme, bahkan ikut terlibat membikin konsumerisme. 

Apakah ada pihak membahas hal ini setiap selesai Ramadan? 

Setahu saya tidak pernah ada. Siapa mau mengevaluasi. Saya yakin tidak ada. Yang bicara seperti ini juga tidak ada selain saya. Saya punya keinginan kita kembali mengikuti perilaku nabi patut kita contoh. Bagaimana beribadah saat Ramadan, bukan mengumbar nafsu seperti itu. Selain itu agar infaknya lebih digalakkan saat Ramadan. Di bulan lain beliau dermawan, bahkan dilukiskan kedermawanan beliau saat Ramadan itu seperti angin kencang. Kalau sekarang tidak, umat muslim lebih senang umrah saat Ramadan. 

Mungkin yang umrah saat Ramadan itu merasa tenang batinnya?

Bukan ketenangan batin, tapi kesenangan batin. Kalau ketenangan bisa dengan qiyamul lail di Masjid Istiqlal di malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadan. Coba Anda baca Republika kemarin ada orang-orang mengikuti kegiatan itu dan mendapatkan ketenangan. Bukan malah ke Makkah. Itu tidak mendapatkan ketenangan, tapi kesenangan. 

Makanya diperlukan sekarang adalah ulama-ulama bisa memberikan keteladanan. Dari mana sumber keteladanan itu, ya mengikuti perilaku Rasulullah. Kalau sekarang mengikuti perilaku nafsu dan itu ironis sekali di bulan Ramadan. Mestinya mengekang nafsu, malah mengumbar nafsu. 

Saat saya berkunjung ke masjid Sunda Kelapa pada Ramadan, ada orang mendekati saya dan bilang, "Pak Ustad, saya baru pulang dari Makkah." Saya langsung balas, "Saya tidak tanya." Dikira ke Makkah saat Ramadan itu bagus. Kalau itu bagus, Rasulullah akan mencontohkan itu. Bila perlu setiap hari akan umrah, bila itu bagus. Yang dicontohkan Rasul justru berinfak sebanyak-banyaknya. Hingga kemudian infak itu dibelokkan ke perilaku konsumtif. Akhirnya yang menonjol konsumtifnya, bukan infaknya. 

Menurunnya kedermawanan ini apa juga dipengaruhi oleh turunnya ekonomi negara?

Kalau itu dijadikan parameter mungkin orang tidak akan berbondong-bondong umrah. Anda coba tanya ke Kedutaan Besar Arab Saudi yang umrah dari Indonesia saat Ramadan berapa orang? Kedutaan Arab Saudi mengeluarkan visa pasti sebelum Ramadan. Kalau di luar Ramadan saya pernah diberitahu rata-rata 7.500 orang. Itu dari jumlah stempel paspor umrah diberikan 

Kalau faktor ekonomi masalahnya, tentu tidak banyak yang pergi umrah. Ini faktor konsumerisme dibungkus dengan ibadah. 

Kenapa itu jarang terdengar? 

Saya kadang banyak mengecam. Saya menulis buku Haji Pengabdi Setan, maksudnya untuk orang berhaji ulang. Itu niatnya ikut siapa, sementara kondisi negara masih terpuruk. Indonesia kalau mengikuti indikator PBB, masih ada 117 juta orang miskin. Nabi berkata, "Tidak beriman orang pada malam perutnya kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan." Berapa juta orang Indonesia masih kelaparan. 

Saya tanyakan kepada ustad-ustad yang merekomendasikan haji ulang atau umrah itu. Tidak bisa menjawab, malah dia larut dalam arus konsumerisme itu. Melihat hal ini, perlu ada revolusi moral. Saya kadang merasa sendirian dalam memberitahukan hal ini. Saya sering mengatakan berhaji ulang itu rugi. Saya katakan itu dilawan banyak kalangan dan bilang, "Berhaji kok rugi." 

Coba bandingkan biayanya itu untuk infak sebanyak-banyaknya. Padahal nanti itu jelas ganjarannya, surga bersama nabi. Kita menyantuni anak yatim, jaminannya surga bersama nabi dalam satu kompleks. Coba berhaji, itu kalau mabrur. Itu pun surganya kelas dek, kelas ekonomi. 

Ini lebih kepada yang berhaji ulang. Menurut saya, itu bermasalah, sementara kewajibannya masih banyak. Kewajiban itu tidak hanya ibadah, kewajiban sosial juga banyak sekali. Tapi pura-pura buta saja. 

Siapa yang diikuti untuk berhaji ulang. Mana ada ayat Alquran dan hadis menyuruh berhaji ulang, sementara kewajiban sosial lain masih banyak. Mau mengikuti Rasulullah, sebutkan hadis yang menyatakan itu, tidak ada, maka kamu hanya mengikuti bisikan dan keinginan nafsu. Meski begitu masih banyak alasannya, ada yang bilang masih belum puas. Saya katakan, sejuta kali kamu berhaji, tetap kamu belum puas. Setan masuknya dari situ kok. Ada yang bilang masih belum sempurna, terus dan terus naik haji. Makanya itulah yang disebut sebagai haji pengabdi setan. 

Mulanya mendengar itu, banyak yang menentang, tapi setelah membaca dan memahami yang saya maksud, banyak juga yang mendukung. Opini itu pertama kali saya tulis di Majalah Gatra. Ada Kiai dari Jawa Timur dikasih orang untuk membaca itu dan berkomentar, "Ini apa-apaan, haji penyembah setan." Sama orang yang memberi opini itu disuruh baca buku saya tentang hal itu, dia bilang, "Pak Kiai, komentarnya nanti saja setelah baca buku ini." Setalah baca buku itu, dia langsung bilang, "Ini yang saya cari, ayo disalin seratus, bagi ke ulama-ulama Jawa Timur." 

Ini saya amati tidak hanya terjadi di Indonesia, juga di seluruh negara yang ada penduduk muslimnya. Di Amerika juga begitu. Pada 2007 saya di Amerika, acara televisi di sana penuh iklan umrah dan haji, bahkan ada koran khusus iklan dibagikan gratis. Koran itu isinya penuh iklan, terutama iklan haji dan umrah. Itulah yang yang diteliti Walter Armbrust, hal itu terjadi bukan hanya di negara-negara Islam, tapi di negara-negara yang ada orang Islamnya. Itu gencar sekali. 

Mestinya masjid juga menjadi sumber kesejahteraan bagi orang miskin?

Mungkin itu ada, tapi jumlahnya sangat sedikit. Paling diberi makan sahur dan berbuka, itu sedikit. Tapi untuk menuntaskan kemiskinan mereka tidak ada program seperti itu.

Friday, January 4, 2013

Malam jum’at , Sunnah Rosul ???


Di masyarakat Indonesia umumnya, terutama bagi kalangan suami istri, ada satu hal yg sering dijadikan guyonan , yakni adanya ’sunnah Rasul’ tiap malam Jum’at. Yang dimaksud dengan sunnah Rasul di sini adalah hubungan suami istri, tentu saja dengan pasangannya yg sah ya ? gitu lho…
Jadi sunnah Rasul di malam Jum’at bisa diartikan ada pasutri yg melakukan hubungan suami istri di malam Jum’at.
Adalah hal yg menarik mencermati 2 hal berikut:
1. Mengapa ‘mesti’ malam Jum’at?
2. Dan mengapa disebut sunnah Rasul
1.       Mengapa ‘mesti’ malam Jum’at?
Sebenarnya, TIDAK ADA KETENTUAN/DALIL KHUSUS yg menjelaskan berhubungan suami istri mesti di malam Jum’at. Setidaknya itu yg saya ketahui selama ini. Jika memang dalil itu ada, maka kasihan sekali pasangan pengantin baru, yg mesti menunggu malam Jum’at untuk bisa menuntaskan dan menumpahkan rasa kasih sayang mereka. Sementara di 6 hari lainnya, saya tidak tahu pasti apa yang mereka lakukan.
Hanya saja, saya melihat adanya keterkaitan antara hubungan suami istri di malam Jum’at, puasa Senin-Kamis, dan program kehamilan. Ya, keterkaitan ini mungkin memang ‘akal2an’ saya saja. Tidak ada dasar pastinya, tapi (menurut saya) cukup masuk akal.
Jadi begini. Salah satu ibadah yg disarankan Rasululloh SAW adalah puasa Senin-Kamis. Senin ke Kamis ada waktu 3 hari. Menurut ilmu kedokteran yg pernah saya baca, sperma akan mencapai puncak kematangan di hari ke-3. Dengan kata lain, sperma yg tidak keluar selama 3 hari akan mempunyai kualitas terbaik, insya ALLOH.
Dengan demikian, bagi pasutri yg punya program ingin mempunyai anak, sebaiknya melakukan puasa Senin-Kamis (terutama bagi suaminya), dan baru berhubungan di hari Kamis (malam Jum’at) sehingga benih yg dikeluarkan adalah benih terbaik.
Hal yg sama, dari Jum’at ke Senin ada waktu sekitar 3-4 hari. Jadi, usai buka puasa di hari Senin pasutri (yg punya program memiliki momongan) bisa meneruskannya dengan hubungan suami istri karena kualitas spermanya adalah yg terbaik.
Masuk akal bukan?
Yang kedua, alasan berhubungan suami istri di malam Jum’at, saya pikir ada hubungannya dengan hadits Rasululloh SAW berikut ini:
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at  seperti mandi janabat/mandi besar, kemudian dia pergi ke masjid pada saat pertama, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor unta dan siapa yang berangkat pada saat kedua, maka seakan-akan ia berkurban dengan seekor sapi, dan siapa yang pergi pada saat ketiga, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor domba yang mempunyai tanduk, dan siapa yang berangkat pada saat keempat, maka seakan-akan dia berkurban dengan seekor ayam, dan siapa yang berangkat pada saat kelima, maka seolah-olah dia berkurban dengan sebutir telur, dan apabila imam telah datang, maka malaikat ikut hadir mendengarkan khutbah.” (Muttafaq ‘alaih)
Dugaan saya, daripada melakukan mandi besar tanpa ‘alasan’ yg jelas, maka malam Jum’atnya berhubungan suami istri. Sehingga saat Subuh, tinggal lakukan mandi wajib dg hati yg ikhlas.
2. Dan mengapa disebut sunnah Rasul?
Ini juga yg saya bingungkan. Kenapa sunnah Rasul diidentikkan dg hubungan suami istri? Padahal banyak sekali sunnah rosul yg juga bisa dilakukan di malam Jum’at. Tahajud, tadarus, adalah sebagian dari sunnah Rasul tersebut.
Dugaan saya, istilah sunnah Rasul ini sebagai pengganti kata berhubungan suami istri. Karena di Indonesia, hal2 yg terkait dg sex cukup tabu dibicarakan secara terbuka, karena akan dianggap vulgar, maka digunakan istilah sunnah Rasul sbg pengganti.
Saya hanya menyayangkan penyempitan makna dari sunnah Rasul, yg mestinya luas, menjadi berkonotasi ke hubungan suami istri. Kasihan sekali kaum muslim yg belum menikah, jika penyempitan makna ini kian mewabah dan memasyarakat, karena mereka belum mempunyai pasangan yg sah. Tidak mungkin mereka ber-onanihanya untuk mengejar bisa mandi wajibnya.
Kesimpulannya:
- berhubungan suami istri tidak mesti dilakukan di hari Kamis (malam Jum’at). kecuali bagi yg punya program ingin mempunyai momongan, mungkin bisa dijadikan salah satu pertimbangan.
- kini ada penyempitan makna dari sunnah Rasul. jika digunakan sebagai upaya memperhalus ungkapan hubungan suami istri, it’s ok, tapi salah kaprah ini akan berdampak buruk jika dimaknai dan dipahami dengan kacamata kuda.
Jadi, semalam apakah anda  dan pasangan menuaikan Sunnah Rasul?
 Sumber : http://www.gakingat.com